Masyarakat Indonesia tentu amat familiar dengan tumpeng yang biasanya terdiri nasi kuning dilengkapi lauk-pauk dan sayurnya.
Dalam budaya Jawa, tumpeng merupakan singkatan dari kalimat 'yen meTu kudu meMPENG'. Jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, kalimat tersebut berarti ‘ketika keluar harus sungguh-sungguh semangat.’
Selama ini cara mengonsumsi tumpeng yang banyak diketahui di masyarakat kita adalah dengan cara memotong puncaknya terlebih dahulu, baru diberikan kepada orang yang paling dihormati atau disayangi.
Prosesi ini bahkan dianggap sangat penting. Bahkan memotong tumpeng menjadi acara puncak sebuah perayaan. Namun, tahukah Anda, ternyata cara memotong puncak tumpeng tersebut salah besar? Hal itu menyalahi arti filosofi dari tumpeng itu sendiri.
"Tumpeng berasal dari Jawa, tapi terpengaruh pengaruh budaya Hindu India," kata Murdjati Gardijito, peneliti di pusat studi pangan dan gizi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Murdjati menyebutkan bahwa bentuk tumpeng yang kerucut, lebar di bawah dan runcing di atas, sebenarnya adalah representasi dari Gunung Mahameru di India yang dianggap sebagai tempat sakral, tempat bermukimnya para dewa.
"Bagian atas tumpeng terdiri hanya dari satu butir nasi. Itu adalah simbol dari Tuhan yang Maha Esa. Makin ke bawah adalah umat dengan berbagai tingkat kelakuannya. Makin banyak adalah umat yang kelakuannya tidak begitu baik, yang sempurna hanya sedikit. Makanya tidak boleh dipotong puncaknya," kata Murdjati.
Sebab, apabila memotong tumpeng dari puncaknya, justru menyalahi filosofi tumpeng yang merupakan representasi hubungan manusia dengan Tuhan. "Kalau dipotong puncaknya berarti memotong hubungan umat dengan Tuhan. Dipotong atasnya juga lauknya tak kena," kata Murdjati.
Ia mengatakan bahwa cara memotong tumpeng sebenarnya terpengaruh oleh budaya Barat, yakni memotong kue. "Kalau kue memang harus dipotong. Tetapi, kalau tumpeng itu makannya harus dikepung, dimakan bersama-sama," kata Murdjati.
Lalu bagaimana cara makan tumpeng yang benar? "Bersama-sama, diambil pakai tangan mulai dari bawah. Lalu puncaknya terus turun sampai akhirnya puncak itu menjadi satu dengan dasarnya, yang berarti manunggaling kawulo lan Gusti (Sang Pencipta tempat kembali semua makhluk)," ujar Murdjati.
Jika merasa tak mau makan tumpeng memakai tangan, dengan sendok pun tak apa. Asalkan, tambah Murdjati, makanlah tumpeng dari bagian bawah, jangan lagi memotong bagian puncak tumpeng.
Sumber: KOMPAS
Sumber: KOMPAS
0 comments:
Post a Comment